
Perjuangan perempuan di Indonesia untuk mendapatkan kesempatan memaksimalkan potensi diri telah menunjukkan capaian yang signifikan. Dewasa ini, perempuan memiliki akses untuk berperan di ruang-ruang publik. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya peningkatan partisipasi angkatan kerja perempuan dari tahun ke tahun—tahun 2024 meningkat dari 54,42% menjadi 55,41%. Namun, apakah hal tersebut menandakan tantangan yang dihadapi perempuan sudah usai?
Lingkungan Kerja yang Tak Ramah Perempuan
Diskriminasi terhadap perempuan di lingkungan kerja masih sering terjadi. Diskriminasi dapat berbentuk pembatasan hak promosi, pembatasan hak cuti menstruasi, dan pembatasan hak cuti melahirkan. Dikutip dari laman GoodStats, data tahun 2024 menunjukkan 25% perempuan tidak mendapatkan kesempatan promosi, 27% tidak mendapat cuti menstruasi, dan 5% tidak mendapat cuti melahirkan. Sedangkan Catatan Tahunan (Catahu) Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) 2025 memperlihatkan 52% perempuan tidak mendapat cuti menstruasi, 22,6% tidak menerima upah penuh saat cuti melahirkan, serta sebagian mengalami kekerasan berbasis gender seperti PHK akibat menuntut hak.
Selain itu, kekerasan seksual dalam bentuk pelecehan seksual verbal dan fisik juga banyak terjadi pada perempuan di lingkungan kerja, terutama perempuan yang bekerja di sektor informal. Pada tahun 2022, terdapat 2.228 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di lingkungan kerja yang dilaporkan ke Komnas Perempuan.
Fakta-fakta di atas menunjukkan lingkungan kerja masih belum ramah terhadap perempuan, sehingga perempuan tidak mendapatkan rasa aman dan nyaman dalam bekerja. Hal ini dapat memengaruhi performa perempuan dalam mendayagunakan kemampuannya.
Ekspektasi Peran Gender Tradisional yang Masih Melekat
Meskipun saat ini kesempatan bagi perempuan untuk berperan di ranah publik sudah cukup terbuka, namun masyarakat masih membebankan tugas-tugas domestik hanya kepada perempuan, alih-alih sebagai tugas kolaborasi antara perempuan dan laki-laki. Hal ini menyebabkan perempuan yang bekerja memiliki beban ganda sebagai orang yang mengurus rumah tangga juga.
Pada tahun 2024, Data BPS menunjukkan 14,37% pekerja di Indonesia merupakan female breadwinners, yaitu perempuan yang bekerja dan memiliki penghasilan paling dominan di antara anggota keluarga. Menariknya, 40,77% berstatus sebagai istri.
Selain bertanggung jawab atas kesejahteraan finansial keluarga, para female breadwinners ini juga tetap menjalankan tanggung jawab domestik di rumah, seperti memasak, melayani suami, merawat anak, dan membersihkan rumah.
Penurunan Produktivitas Perempuan
Tantangan-tantangan yang dihadapi perempuan di lingkungan kerja sekaligus di rumah dapat menurunkan produktivitas perempuan. Perempuan akan rentan mengalami gangguan kesehatan fisik maupun jiwa dengan beban yang berlebihan. World Health Organization (WHO) mengatakan bahwa perempuan lebih sering mengalami depresi dan kecemasan dengan prevalensi dua kali lipat dari laki-laki.
Bukan Lagi Beban Ganda, Saatnya Perempuan dan Laki-Laki Berkolaborasi
Pelekatan peran domestik pada gender perempuan adalah sebuah kekeliruan. Tugas-tugas domestik sesungguhnya adalah tanggung jawab setiap anggota keluarga yang menghuni suatu rumah. Memasak, mencuci, dan membersihkan rumah seharusnya dilakukan secara kolaboratif oleh perempuan dan laki-laki. Selain melatih kerjasama, hal ini juga mengajarkan kita untuk bertanggung jawab atas diri sendiri dan melatih diri untuk saling membantu.
Anggota keluarga yang saling membantu akan menciptakan suasana rumah yang hangat. Suasana rumah yang hangat akan menciptakan kondisi emosional yang stabil sehingga mendorong produktivitas setiap orang dalam berperan di ruang publik. Keluarga yang sejahtera dimulai dari anggota keluarga yang kolaboratif.